PUASA
Ayat yang menegaskan mengenai perintah
berpuasa di Bulan Ramadhan adalah:
(Beberapa
hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya
diturunkan (permulaan) Al Qur’an sebagai petunjuk bagi manusia dan
penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan
yang bathil). Karena itu, barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat
tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu, dan
barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah
baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang
lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran
bagimu. Dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu
mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu
bersyukur. (Q.S.
Al-Baqarah: 185)
Sedangkan pada Al-Baqarah ayat 183 menyebutkan:
Hai
orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan
atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa, (Q.S. Al-Baqarah:
183)
Pada Al-Baqarah ayat 183 hanya memerintahkan kewajiban puasa, namun tanpa
menyebutkan waktu yang pasti mengenai kewajiban puasa tersebut. Sedangkan pada
Al-Baqarah ayat 185 secara tegas menyebutkan bahwa kewajiban berpuasa tersebut
adalah di Bulan Ramadhan.
Pada Al-Baqarah ayat 185 menyebutkan:
…fa man
syahida min kumusy-syahra fal yashumhu …
… siapa yang
menyaksikan di antara kamu datangnya bulan itu (Bulan Ramadhan), maka
berpuasalah ….
Bulan Ramadhan adalah bulan kesembilan
menurut penanggalan hijriyah. Ramadhan berasal dari kata “ramadha”
(panas yang menghanguskan), sebab sebelum kedatangan Islam, penghitungan
kalender itu berdasarkan pada matahari. Sehingga Bulan Ramadhan waktu itu
setara dengan September. Dan memang kita ketahui, bahwa musim panas di Jazirah
Arabia adalah pada bulan Juni, Juli, Agustus, dan September. Pada Bulan Juni, Juli, dan Agustus adalah puncak
musim panas. Sehingga setelah Juni, Juli, Agustus terbakar oleh sinar
matahari, maka September adalah sedang panas-panasnya. Siangnya begitu panjang.
Pukul setengah empat sudah masuk waktu Shubuh. Matahari membakar batu. Ketika
maghrib, matahari terbenam. Batu yang terbakar terkena sinar matahari seharian,
kemudian mulai dingin. Tapi belum dingin betul, pagi lalu muncul lagi. Kemudian
terkena panas lagi. Begitulah berbulan-bulan. Karena itulah, bulan yang panas
menghanguskan disebut sebagai Bulan Ramadhan.
Setelah Ramadhan, maka masuklah Bulan
Syawwal. Syawwal berasal dari kata “syawwala”. Biasanya di gurun-gurun
pasir itu ada sumur (oase). Maka air
di sumur itu setelah bulan-bulan yang panas itu lalu diangkat. Karena airnya
habis ditimba, maka sumur itu menjadi kering. Syawwala artinya sumur
yang sudah mengering karena airnya diangkat.
Pada Al-Baqarah ayat 183 disebutkan, bahwa puasa itu telah diwajibkan
kepada orang-orang sebelum Umat Nabi Muhammad.
Di Injil-Kitab Jeremia (36) ayat 9
disebutkan:
Adapun dalam tahun yang kelima pemerintahan Yoyakin bin
Yosia, Raja Yahuda, dalam bulan yang kesembilan, orang telah memaklumkan puasa
di hadapan Tuhan bagi segenap rakyat di Yerusalem. (Injil)
Jadi, sudah ada perintah puasa untuk
umat-umat terdahulu (sebelum Umat Nabi Muhammad) melalui nabi-nabi yang diutus
kepada umat tersebut. Bahkan Nabi Musa, dia naik ke gunung yang begitu tinggi,
tembus ke awan, lalu tinggallah ia di atas gunung selama 40 hari 40 malam untuk
melakukan ibadah i’tikaf.
Karena itulah, di dalam dunia Islam ada kelompok-kelompok tarikat yang
mempunyai tradisi suluk (khalwat) selama 40 hari. Inilah tradisi Nabi
Musa. Di dalam Alquran, mengenai hal ini dijelaslan pada Surah Al-A’raf ayat
142, bahwa Nabi Musa digembleng selama 30 hari, kemudian lulus, lalu Allah
tambahkan 10 hari lagi, sehingga menjadi 40 hari.
Nabi Isa pun digembleng 40 hari 40 malam. Seperti yang tertulis di Injil,
bahwa Nabi Isa kemudian dibawa oleh roh (Jibril) ke padang gurun untuk diuji.
Maka, setelah berpuasa 40 hari 40 malam, akhirnya laparlah Nabi Isa.
Dari hal ini, dapatlah kita ketahui, bahwa umat-umat terdahulu (sebelum Umat
Nabi Muhammad) juga berpuasa. Di dalam Injil Lukas juga disebutkan mengenai
Puasa Senin-Kamis. Yang menarik, adalah bagaimana sikap berpuasa seperti yang
tertulis di Injil Matius:
Dan apabila
kamu berpuasa, janganlah muram wajahmu seperti orang munafik. Mereka mengubah
air mukanya supaya orang melihat, bahwa mereka sedang berpuasa. Aku berkata
kepadamu, sesungguhnya mereka sudah mendapat upahnya, yaitu dikagumi oleh
orang. (Injil)
Pesan moral yang ada di Injil sebenarnya sama dengan pesan moral di Agama
Islam, yaitu kalau sedang berpuasa, janganlah ditunjuk-tunjukkan bahwa kita
sedang berpuasa.
Di dalam Hadits Qudsi, Rasulullah
menyampaikan pesan:
Allah tabara wa ta’ala berkata: setiap amal (perbuatan)
keturunan Adam untuk si anak Adam itu sendiri, kecuali puasa. Puasa itu untuk-Ku, dan Aku yang akan
memberikan ganjarannya langsung. (Hadits Qudsi)
Pesan hadits qudsi ini adalah, bahwa setiap orang yang berbuat baik, maka
orang tersebut bisa mengira-ngira ganjaran yang akan ia peroleh. Tetapi puasa,
maka ganjarannya tidak ada yang tahu, hanya Allah yang tahu, dan itu adalah
rahasia manusia dengan Allah.
Kembali kepada Injil Matius, juga disebutkan:
Tetapi
apabila engkau berpuasa, minyakilah kepalamu dan cucilah mukamu, supaya jangan
dilihat oleh orang bahwa engkau sedang berpuasa, melainkan hanya oleh Bapamu
(oleh Tuhan) yang ada di tempat tersembunyi. (Injil)
Puasa itu adalah urusan kita dengan Tuhan saja, jadi tak usah terlalu
dinampak-nampakkan. Jika di hari-hari biasa (selain Bulan Ramadhan) kita bisa
beraktivitas normal seperti biasanya, maka di Bulan Ramadhan pun selayaknya
kita juga harus tetap beraktivitas seperti biasanya, masuk bekerja seperti
biasanya tanpa harus terlambat, bekerja seperti biasanya tanpa harus
bermalas-malasan.
Janganlah karena puasa kemudian menjadikan kita selalu minta keringanan.
Sesungguhnya puasa itu bukanlah sesuatu yang akan mencelakakan kita, melainkan
adalah sesuatu yang akan menggembleng kita. Dan orang takkan mati karena puasa.
Keistimewaan
Ramadhan
Karena banyaknya keistimewaan Ramadhan (bulan rahmat, pengampunan, dan
sebagainya), menurut Rasulullah:
Kalaulah
orang mengetahui kebaikan-kebaikan yang ada pada Bulan Ramadan, niscaya mereka
akan menginginkan agar Ramadan berlangsung sepanjang tahun. (Al-Hadits)
Rasulullah juga memberikan pesan:
Wahai
manusia, sesungguhnya telah datang kepadamu bulan Allah yang penuh berkah,
rahmah, dan maghfirah. Bulan yang paling mulia di sisi Allah,
hari-harinya adalah hari-hari yang paling utama. Malam-malamnya adalah malam
yang paling utama. Saat demi saatnya adalah saat-saat yang paling utama. Inilah
puncak segala bulan, penghulu segala bulan. (Al-Hadits)
Jika kita cermati lagi pesan Rasulullah
tersebut, bahwa Ramadhan adalah bulan yang malam-malamnya adalah
malam-malam yang paling utama.
Kita sering kali menganggap bahwa
Ramadhan itu yang istimewa hanya siangnya saja. Ternyata kita lupa, bahwa
malamnya pun istimewa. Memang, siangnya istimewa karena siangnya kita melakukan
ibadah “shiyam” (puasa). Namun janganlah dilupakan, bahwa pada malam harinya
pun kita dianjurkan untuk melakukan ibadah “qiyam” (shalat). Secara
sederhana menurut terminologi fiqh, bahwa perbanyaklah ibadah di waktu malam,
janganlah perbanyak tidur.
Malamnya adalah malam-malam yang paling utama. Inilah yang sering diabaikan. Di siang harinya
karena berpuasa, maka kita begitu mengistimewakan siang hari Ramadhan. Tapi
setelah berbuka puasa, maka biasanya aktivitas yang dilakukan adalah aktivitas
yang sia-sia. Padahal malam di Bulan Ramadhan adalah malam-malam yang istimewa.
Malam yang mana? Yaitu sejak Maghrib, itu sudah istimewa, yaitu kita berbuka
puasa, kemudian Shalat Tarawih, kemudian membaca Alquran, tidur, apalagi di
waktu “sahur”.
Sahur adalah nama
waktu, yaitu sepertiga malam yang terakhir, kira-kira pukul setengah 2 sampai
setengah 5. Sepertiga malam yang terakhir inilah yang disebut sebagai waktu “sahur”.
Sahur, jamaknya adalah “as-har”.
“Wa bil as-haari hum yastaghfirun” (di waktu-waktu sahur, mereka terus
memohon ampun kepada Allah). Mengapakah dianjurkan untuk memohon ampun di waktu
sahur? Sebab di dalam hadis juga dijelaskan: di waktu sahur (sepertiga malam
yang terakhir), Allahu yanzilu ilas-sama’iddunya (Allah turun ke
langit yang terdekat dengan bumi, dan Allah mencari-cari orang yang berdoa di
waktu sahur, dan Allah akan sangat malu untuk tidak mengabulkan doa orang yang
berdoa di waktu sahur).
Maka, ketika Nabi ditanya, “Kapan saat berdoa yang paling baik?”
Nabi lalu mengatakan, “Di penghujung salat fardhu, wa fi jaufil laylil
akhirah (di penghujung malam yang terakhir)”.
Maka perbanyaklah berdoa di waktu-waktu yang istimewa ini.
Yang istimewa dari Sahur adalah waktunya, bukanlah makannya (makan sahur).
Mengapa? Karena di waktu sahur itulah doa-doa didengarkan dan diperhatikan.
Oleh sebab itu, bangun di waktu sahur jangan hanya untuk makan. Kalau ada pesan
Rasulullah yang berbunyi: Tasahharu fa inna fissahuri barakah
(Bersahurlah kalian, sesungguhnya pada sahur ada keberkahan).
Keberkahan itu pada waktu sahurnya, bukan pada makan sahurnya. Kita sering
mengartikan, bahwa keberkahan itu pada makan sahurnya. Sehingga, kitapun makan
banyak-banyak pada saat sahur. Bukanlah ini yang dimaksud. Rasulullah
mengatakan: Kalaupun yang kamu minum hanya seteguk air, maka itu sudah
cukup.
Jadi, kalau memang banyak keberkahan di waktu sahur, mengapa kita tidak
makan minum banyak-banyak, mengapa dikatakan oleh Rasulullah, bahwa seteguk air
saja cukup.
Keberkahan itu bukan pada makan sahurnya, melainkan pada waktu sahurnya itu
sendiri. Jadi makna: tasahharu (bersahurlah kalian), ternyata bukanlah
makan sahur, tapi bangun di waktu sahur. Dan isilah waktu sahur jangan hanya
dengan makan, melainkan sempatkanlah untuk Salat Tahajjud. Sesuai dengan
namanya, yaitu tahajjada (bangun dan bangkit dari tidur), sehingga
kalau kita sudah tidur, lalu bangun dan bangkit, maka itulah yang dinamakan
sebagai tahajjud.
Setelah bangun dan bangkit itu, lalu bersegeralah untuk shalat. Sehingga
salat yang dilakukan itu kemudian disebut sebagai shalat tahajjud. Jadi, kalau
ada yang mengatakan bahwa shalat tahajjud hanya bisa dilaksanakan setelah
terlebih dahulu tidur, maka memang benar adanya. Bagaimana bisa disebut sebagai
shalat tahajjud (salat bangkit dari tidur), jika tidak tidur terlebih dahulu.
Tetapi, bukan berarti nilainya rendah jika kita melakukan salat malam (salat
sunnat) tanpa terlebih dahulu tidur, misalkan bagi orang yang bekerja pada
malam hari, sehingga untuk melakukan salat sunnat pada malam hari ia tanpa
terlebih dahulu tidur. Cuma, shalat sunnat yang dilakukan tanpa terlebih dahulu
tidur, maka tidak dinamakan sebagai salat tahajjud.
Perbedaannya hanyalah pada nama
shalatnya. Yang satu disebut tahajjud, sedangkan yang satunya lagi tidak
disebut sebagai tahajjud. Lantas disebut sebagai salat apa? Sebut saja sebagai
shalat lail (shalat malam). Tetapi berkenaan dengan pahala, sebenarnya sama
saja. Substansinya, sama-sama dilakukan pada waktu yang istimewa (sepertiga
malam/waktu sahur).
Jadi, sesuai dengan pesan Rasulullah
tersebut di atas, bahwa biasanya kita terlalu mengistimewakan siangnya, tetapi
lalai memanfaatkan malamnya. Di siang kita shiyam, di malam hari kita qiyam,
terutama di waktu sahur. Bangun di waktu Sahur jangan hanya untuk makan sahur,
tapi lakukan juga salat dua rakaat, lakukan doa bersama karena di waktu
tersebut adalah saat doa dimustajabah oleh Allah.
Di siang hari kita melakukan ibadah
lahiriah, yaitu berhenti makan dan minum, berhenti seks, berhenti dari
membicarakan hal-hal yang tidak bermanfaat dan bisa mengurangi keberkahan
puasa. Selain berpuasa secara lahiriah, kita juga berpuasa secara ruhaniah,
yaitu:
- fa la yarfus (ngomong yang
mengarah kepada syahwat),
- wa la yaskhaf
(membenar-benarkan yang salah), dalam hal ini kita tidak melakukan hal yang
salah itu, melainkan kita hanya membenarkan tindakan yang salah, maka ini juga
tidak boleh kita lakukan. Ini
sebenarnya sikap mental,
- wa la yajhal
(jangan bersikap bodoh/kasar) .
Di malam hari ada ibadah yang secara lahiriah misalkan mengurangi tidur,
kemudian ditambah dengan ibadah ruhaniahnya, seperti: shalat malam, berzikir,
berdoa, wirid, baca Alquran.
Khutbah Rasulullah ketika menyambut
Ramadhan:
Inilah bulan ketika kamu diundang menjadi tamu-tamu
Allah dan dimuliakan-Nya. Di bulan ini, desah nafasmu menjadi tasbih, tidurmua
menjadi ibadah (ini yang seirng disalah-pahami), amal kebajikanmu diterima,
doa-doamu dikabulkan. Maka memohonlah kepada Allah Tuhanmu, dengan niat yang
tulus dan hati nurani yang suci, agar Allah membimbingmu mampu melakukan puasa
dan membaca kitabnya (perbanyaklah membaca Alquran di Bulan Ramadhan).
Celakalah orang-orang yang tidak mendapatkan ampunan Allah di bulan yang agung
ini. Kenanglah dengan lapar dan hausmu, kelaparan dan kehausan di hari kiamat
nanti, karena itu bersedekahlah kepada fakir-miskin, muliakanlah para orang
tuamu, sayangilah mereka yang muda, kuatkanlah hubungan silaturahim.
Nampak sekali, bahwa dari khutbah
Rasulullah tersebut, bahwa hubungan manusia dengan Allah, maka nilai
tertingginya adalah takwa. Sedangkan hubungan manusia dengan sesama manusia,
maka nilai tertingginya adalah adil. Dalam hal ini, takwa dan adil itu tidak bisa dipisahkan.
I’dilu (adillah
kalian), wa akrabu littaqwa (karena keadilan sangat dekat pada
ketakwaan).
Hubungan antar manusia, nilai
tertingginya adalah adil. Janganlah kita merusakkan hubungan antar manusia.
Sebab, ketika kita merusakkan keadilan, berarti kita telah merusakkan hubungan
antar manusia. Jika sudah seperti ini, maka kita menjadi tidak takwa kepada
Allah, meskipun shalat yang kita lakukan bagus, juga puasa, zakat, dan haji
yang telah kita lakukan begitu bagus.
Jadi, antara hubungan kita dengan Allah,
janganlah dipisahkan dengan hubungan kita antar sesama manusia. Terutama dengan tetangga, kalau ada perbedaan
pendapat antara kita, kalau ada konflik antara sesama manusia, maka belajarlah untuk
memaafkan. Belajar untuk menyingkirkan dendam, marah, dan kecewa. Apapun yang
pernah diperbuat oleh tetangga, kalau kita sulit memaafkannya, kitapun kemudian
berkata:
Ya Allah, sebagaimana aku selalu mengharap maaf dan ampunan darimu, maka
jadikanlah aku sebagai hamba-Mu yang mudah memaafkan orang lain.
Kita selalu mengharapkan maaf dan ampunan dari Allah, maka sudah
selayaknyalah kita juga harus mau memaafkan orang lain. Dan ini adalah hal yang
mudah dikatakan, tapi sulit untuk dilakukan. Sebagai manusia biasa,
tentunya kadang-kadang ada problem, tapi kita selalu berusaha untuk memaafkan.
Dan ternyata setelah kita bisa memaafkan, maka hidup ini menjadi nikmat dan
lapang.
Maka di Bulan Ramadhan ini, lakukanlah
puasa, qiyamullail, baca Alquran, yang itu semuanya adalah untuk membaguskan
hubungan kita dengan Allah. Tapi jangan lupa, hubungan kita dengan manusia
bagaimana? Urusan takwa dan ibadah kepada Allah jangan pernah dipisahkan dengan
hubungan antar manusia.
Jagalah lidah kita, kendalikan pandangan kita dari yang tidak halal untuk
dipandang.. Kendalikan pendengaran kita dari yang tidak halal untuk
didengar. Kasihilah anak-anak yatim,
agar nanti anak-anak yatim kita juga dikasihi orang. Bertobatlah kepada Allah
dari dosa-dosa kita. Angkatlah kedua tangan kita untuk berdoa di dalam shalat
kita, karena itulah saat yang paling utama.
Jadi janganlah ragu, terutama ketika rakaat-rakaat terakhir untuk
mengangkat tangan, berdoa kepada Allah. Qunut bukan hanya bisa dilakukan ketika
salat shubuh, melainkan juga bisa kita lakukan pada shalat-shalat yang lain.
Saat kita sedang shalat, saat itulah Allah memandang hamba-hamba-Nya dengan
tatapan penuh kasih, menjawab orang-orang yang menyeru-Nya, menyahut
orang-orang yang memanggil-Nya, mengabulkan doa orang-orang yang memohon
kepada-Nya.
Wahai
manusia, sesungguhnya diri-dirimu tergadai oleh amal kebajikanmu.
Diri kita mau dimasukkan ke neraka oleh Allah. Tapi kita shalat,
kita puasa, kita beribadah. Kalau begitu dimasukkan ke surga saja. Ketika mau
dimasukkan ke surga, ternyata shalat kita banyak yang bolong, banyak tidak
khusyu’nya. Maka tergadailah kita. Sudah melakukan amal kebajikan, tapi amal
kebajikan tidak meloloskan kita ke dalam surga, karena dalam amal kebajikan itu
banyak cacatnya: ada ujub, ada riya’. Karena itu, perbanyaklah istighfar.
Sehingga yang tadinya amal kebajikan itu membebani kita, mau masuk ke surga
tapi tertahan, maka beristighfarlah, supaya kekurangan-kekurangan dari
ibadah-ibadah tersebut dihapuskan.
Punggung-punggungmu
telah payah menanggung beban. Maka ringankanlah dengan sujud yang panjang.
Ketahuilah, Allah taala bersumpah dengan segala kebesaran-Nya, bahwa Ia
takkan mengazab orang-orang yang salat dan bersujud, takkan menggentarkan
mereka, takkan menakutkan mereka dengan neraka di hari mereka berdiri di
hadapan Allah nanti.
Wahai
manusia, siapa di antaramu yang memberi makan buka puasa kepada orang-orang
beriman yang berpuasa di bulan ini, maka di sisi Allah ada ganjaran yang setara
dengan ganjaran pembebasan seorang budak, dan ampunan atas dosa-dosanya.
Jadi, sangat dianjurkan untuk memberi makan kepada orang-orang yang sedang
berbuka puasa.
Di tengah khutbah itu, tiba-tiba seorang sahabat menyela, “Ya Rasulullah,
tak semua orang di antara kami sanggup memberi makan buka puasa pada orang
lain. Kami juga miskin.”
Maka Rasulullah seperti tidak mendengar selaan itu. Rasul terus melanjutkan
khutbahnya:
Lindungilah
dirimu dari api neraka, walau hanya dengan sebiji kurma. Lindungilah dirimu
dari api neraka, walau hanya dengan seteguk air.
Jadi, semua itu bisa dilakukan dengan seminimal mungkin.
Wahai
manusia, siapa yang membaguskan akhlaknya di bulan ini, maka dia akan berhasil
melewati Shiratal Mustaqim di hari ketika kaki-kaki lain tergelincir. Siapa
yang meringankan pekerjaan para pembantunya di bulan ini, maka Allah akan
meringankan pertanggungjawabannya di hari kiamat nanti. Siapa yang menahan
kejahatannya di bulan ini, maka Allah akan menahan murkanya di hari ia berjumpa
dengan Allah. Siapa yang memuliakan anak yatim di bulan ini, maka Allah akan
memuliakannya di hari ia berjumpa dengan Allah. Siapa yang menghubungkan tali
persaudaraan di bulan ini, maka Allah akan menghubungkannya dengan rahmat-Nya
pada hari ia berjumpa dengan Allah. Siapa yang memutuskan kekeluargaan di bulan
ini, maka Allah akan memutuskan rahmat-Nya pada hari ia berjumpa dengan Allah.
Siapa yang melakukan shalat sunnat di bulan ini, maka Allah akan menetapkan
pembebasan dari api neraka untuknya. Siapa yang melakukan shalat fardhu, maka
baginya ada ganjaran seperti 70 kali shalat fardhu di bulan lain. Siapa yang
memperbanyak shalawat kepadaku di bulan ini, maka Allah akan memberatkan
timbangan pada hari ketika timbangan-timbangan ringan. Siapa yang membaca satu
ayat Alquran di bulan ini, ganjarannya setara dengan mengkhatamkan Alquran di
bulan lain.
Wahai
manusia, sesungguhnya pintu-pintu surga telah terbuka untukmu. Maka memohonlah
kepada Tuhanmu, agar Ia tak pernah menutupnya lagi bagimu. Pintu-pintu neraka
telah tertutup, maka memohonlah kepada Tuhanmu agar Ia tidak pernah membukanya
lagi bagimu. Setan-setan telah terbelenggu, maka memohonlah kepada Tuhanmu agar
mereka tak pernah lagi bisa menguasaimu.
Di tengah khutbah Rasulullah itu, Sayyidina Ali ibn Abi Thalib lalu berdiri
dan berkata, “Ya Rasulullah, perbuatan apa yang paling utama di bulan ini?”
Nabi pun menjawab, “Ya Abal Hasan, perbuatan yang paling utama di bulan ini
adalah menjaga diri dari apa yang diharamkan oleh Allah.”
Dalam hal ini, kalaupun tidak berbuat baik, setidaknya janganlah berbuat
yang haram. Tidak berbuat haram saja, desah nafasmu menjadi tasbih, tidurmu
menjadi ibadah. Tapi kalau kita melakukan ibadah, melakukan juga yang haram,
maka semua amal ibadah kita akan menjadi rusak.
Demikianlah, Ramadhan adalah
bulan kebangkitan rohani kita.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar